Monday 13 January 2014

ABSAH DAN BENAR


ABSAH DAN BENAR Dalam membicarakan silogisme kita harus mengenal dua istilah, yaitu absah dan benar. “Absah” (valid) berkaitan dengan prosedur penyimpulannya. Apakah pengambilan konklusi sesuai dengan patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dikatakan tidak valid bila sebaliknya. “Benar” berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, apakah ia didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai dengan fakta, proposisi itu benar, bila tidak, ia salah. Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan suatu satuan yang tidak bisa dipisahkan untuk mendapatkan konklusi yang sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yang benar, dari prosedur yang sah, konklusi itu dapat diakui. Karena bisa terjadi dari premis yang salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar. Demikian juga dari premis yang salah dan prosedur yang tidak valid dihasilkan konklusi benar. Variasi-variasinya adalah sebagai berikut: 1. Prosedur valid, premis salah, konklusi benar. Semua yang baik itu haram. (Salah) Semua yang memabukkan itu baik. (Salah) Jadi, semua yang memabukkan itu haram. (Benar) Semua bunga berbau harum. (S) Semua minyak wangi adalah bunga. (S) Semua minyak wangi berbau harum. (B) 2. Prosedur tidak valid, premis benar, konkulsi salah. Plato adalah filosof. (B) Aristoteles bukan Plato. (B) Jadi, Aristoteles bukan filosof.(S) Semua ikan berdarah dingin. (B) Reptil bukan ikan. (B) Jadi, reptil tidak berdarah dingin. (S) 3. Prosedur tidak valid, premis salah, konklusi benar. Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (S) Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (S) Jadi, Sebagian manusia adalah politikus. (B) Sebagian besi bernyawa. (S) Sebagaian logam bernyawa. (S) Jadi, sebagian logam adalah besi. (B) 4. Prosedur valid, premis salah, konklusi salah. Semua yang keras tidak berguna. (S) Adonan roti adalah keras. (S) Jadi, adonan roti adalah tidak berguna. (S) Semua yang ada tidak dapat dilihat. (S) Jiwa dapat dilihat. (S) Jadi, jiwa tidak ada. (S) Konklusi silogisme hanya bernilai manakala diturunkan dari premis yang benar dan prosedur yang baik. Konklusi yang meskipun benar tapi diturunkan melalui prosedur yang tidak valid dan premis yang salah, tidak bernilai karena dalam silogisme kita tidak menghadirkan kebenaran baru, tetapi kebenaran yang sudah terkandung pada premis-premisnya. Suatu silogisme akan menurunkan konklusi yang dijamin kebenarannya manakala premis-premisnya benar dan prosedur penyimpulannya valid.

SILOGISME KATEGORIK


SILOGISME KATEGORIK Agar diperoleh simpulan yang benar, harus diperhatikan patokan-patokan silogisme, patokan-patokan itu adalah: 1. Apabila dalam satu premis partikular, simpulan harus partikular juga. Contoh: Semua yang halal dimakan menyehatkan Sebagian makanan tidak menyehatkan. Jadi,sebagian makanan tidak halal di makan. Semua cerita cabul tidak boleh untuk mendidik Sebagian cerita Jaka Tarub adalah cabul Jadi,sebagian cerita Jaka Tarub tidak boleh untuk mendidik. 2. Apabila salah satu premis negatif, simpulan harus negatif juga. Contoh: Semua koruptor tidak disenangi Sebagian pejabat adalah koruptor Jadi, sebagian pejabat tidak disenangi. Semua mahasiswa terdidik Sebagian manusia tidak terdidik Jadi, sebagian manusia bukan mahasiswa. 3. Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil simpulan. Contoh: Beberapa politikus tidak jujur. Banyak cendekiawan adalah politikus. Jadi, banyak cendekiawan tidak jujur. Beberapa orang kaya kikir. Beberapa pedagang adalah kaya. Jadi, beberapa pedagang adalah kikir. Simpulan yang diturunkan dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti. Oleh karena itu, simpulan seperti: Sebagian pelaut dapat menganyam tali dengan baik. Hasan adalah pelaut. Jadi, kemungkinan “Hasan dapat menganyak tali dengan baik” adalah tidak sah. Sembilan puluh persen pedagang Pasar Baru jujur. Johan adalah pedagang Pasar Baru Sembilan puluh persen Johan adalah jujur (Simpulan ini tidak sah). 4. Dari dua premis yang sama-sama negatif tidak dihasilkan simpulan apa pun karena tidak ada mata rantai yang menghubungkan kedua proposisi premisnya. Simpulan dapat diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. 5. Salah satu dari term penengah harus tertebar (mencakup). Dua premis yang term penengahnya tidak tertebar akan menghasilkan simpulan yang salah. Contoh: Semua ikan berdarah dingin. Binatang ini berdarah dingin. Jadi, binatang ini adalah ikan (padahal bisa juga binatang melata!) Semua tanaman membutuhkan air Manusia membutuhkan air. Jadi, manusia adalah tanaman. 6. Term predikat dalam simpulan harus konsisten dengan term predikat yang ada pada premisnya. Bila tidak, simpulan menjadi salah. Contoh: Kerbau adalah binatang. Kambing bukan kerbau. Jadi, kambing bukan binatang. (binatang pada konklusi merupakan term negatif, sedangkan pada premis adalah positif). Hasan adalah manusia. Budi bukan Hasan. Jadi, Budi bukan Hasan. 7. Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna ganda, simpulan menjadi lain. Contoh: Bulan itu bersinar di langit. Januari adalah bulan. Jadi, Januari bersinar di langi. Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan. Orang yang berpanu adalah berpenyakit menular Jadi, orang yang berpanu harus diasingkan. 8. Silogisme harus terdiri atas tiga term, yaitu term subjek, term predikat, dan term middle. Apabila terdiri dari sebuah tema tidak bisa diturunkan konklusi, begitu pula bila terdiri dari dua atau lebih dari tiga term. (Sumber: Mundiri. 2003. Logika. Jakarta: Rajawali Pers).

Gincu dan Garam : Sebuah Artikulasi Politik Islam Yang Kian Memudar


Gincu dan Garam : Sebuah Artikulasi Politik Islam Yang Kian Memudar ‘Imaduddin Abdurrahim (alm), pada tahun 1962 bersama enam rekan aktifis Islam, ia menyatakan kekecewaannya kepada Bung Hatta. “Kami, para pemuda Islam, sangat kecewa kepada Bapak, karena kami menganggap Bapak tidak bertanggung jawab kepada bangsa ini …. Bapak meninggalkan kursi kewakilpresidenan. Padahal, Bapak tahu kalau Sukarno tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain kecuali kalau Hatta yang bicara. Sekarang, setelah Bapak meninggalkan dia, dia jadi merajalela. Buku Bapak mengenai Ilmu Klasik itu saja dilarang.” “Saya bangga pada kalian, karena walaupun kalian insinyur, kalian tetap memperhatikan politik …. Untuk menjadi pemimpin politik, orang tidak perlu pintar-pintar seperti kalian. Orang yang pandai omong berapi-api tetapi bohong bisa menjadi pemimpin politik …. Yang penting adalah bagaimana mendidik kader yang betul-betul bertanggung jawab, pintar, ikhlas, bertakwa dan sebagainya.” Husein Umar kemudian bertanya, “Bapak berbicara mengenai takwa dan kejujuran, bahkan mengenai Pancasila, tetapi tidak pernah bicara tentang Islam. Apakah sebabnya?” Jawab Bung Hatta, “Perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan. Nah, cobalah teteskan setetes gincu dan kocok. Warnanya jelas berubah namun rasanya tidak berubah. Tetapi, coba masukkan setengah sendok garam dan kemudian kocok. Warnanya tidak akan berubah namun rasanya berubah. Natsir menganggap Islam seperti gincu, sementara saya menganggap Islam seperti garam. Tanamkan Islam di dalam hati pemuda-pemuda dan mereka akan membereskan seluruh negeri ini.” ”Pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa.” Inilah yang diinginkan Bung Hatta yaitu agar nilai-nilai Islam dapat menggarami kehidupan budaya bangsa, hingga akhlak mulia dan keadilan dapat ditegakkan secara nyata, bukan dalam format retorika politik yang tidak bertanggung jawab. Meskipun gincu versus garam yang disematkan pada Natsir versus Hatta ini debateble dan patut diuji kesahihannya, tapi apa yang dikatakan Hatta seperti sebuah sinyal kuat bagi sebuah proses artikulasi politik umat islam pada masa orde baru. Hatta sepertinya tidak berbicara gincu dan garam pada masa-nya dimana ideologi menjadi faktor yang mendasari lahirnya partai politik termasuk masyumi dengan Islam-nya, justru sinyal Hatta ini ditangkap oleh kalangan “neo modernis” dalam menghadapi era Soeharto yang memainkan kartu “the end of Ideology”. Gebrakan Cak Nur misalnya yang setahun sebelum pemilu 1971 mengumandangkan slogan “Islam yes, Partai Islam no” menjadi katalis politik islam akomodatif dalam menghadapi zaman orde baru yang memberlakukan azas tunggal Pancasila. Cak Nur sering mengutip filsafat garam Bung Hatta. Di awal pemerintahan militer Suharto, diperlukan strategi filsafat garam. Tak tampak, tetapi memengaruhi kelezatan masakan. Umat Islam, ajak Cak Nur, harus meninggalkan filsafat gincu, yang kata Bung Hatta terlihat (“formalisme”) tetapi tidak berpengaruh bahkan palsu dan sementara. Filsafat garam juga banyak diamini oleh tokoh-tokoh intelektual Islam lainnya, di tahun 2001 saat mencuat kembali keinginan sebagian umat Islam untuk mengusung “Piagam Jakarta” sebagai landasan negara, Tempo mewawancarai sejumlah tokoh Islam, antara lain M Amien Rais. Pada Tempo edisi tersebut Amien Rais mengatakan, “Jika politik bendera atau gincu yang dipegang, akan tampak berkibar-kibar dan menyala-nyala. Tapi hal itu akan menimbulkan reaksi dari kelompok lain. Sebaliknya jika politik garam yang dipegang, itu tak akan menyala atau berkibar-kibar. Cuma rasa gurih dan asinnya langsung dirasakan masyarakat.” Sejak masa reformasi, posisi ideologi politik sebuah parpol dalam kancah kontestasi tidak memiliki arti apa-apa. Singkatnya, ideologi tersimpan rapi di dalam rak meja, selanjutnya para politisi duduk berhadapan di atas meja menyatukan persepsi yang cukup singkat; Anda dapat apa dan Saya dapat apa. Terjungkalnya partai-partai Islam dalam kontes pemilu baik di tahun 2004 terlebih di tahun 2009 adalah fakta pragmatisme politik tanah air karena parpol hanya mampu dan semarak dalam menampilkan bendera atawa gincu tanpa tindakan politik nyata. Azas Islam hanya dijadikan pemanis retorika dan hiburan panggung gembira. Sehingga bisa dikatakan tahun 2009 adalah tahun dimana politik gincu berakhir “layu sebelum berkembang“. Fenomena Metamorfosa PKS pasca munas II yang mengusung jargon “Partai Kita Semua” meniscayakan akan ketidakpercayaan ideologi Islam menjadi barang yang “laku dijual” untuk pemilu 2014. Inklusifitas yang dibangun PKS saat ini dengan menerima pluralitas bukan dikarenakan rakyat yang beragama Islam di Indonesia sekarang minoritas sehingga butuh “ceruk” pasar baru dengan menerima simpatisan dan kader dari agama selain Islam agar memenangkan pemilu ataupun pilpres 2014 tetapi sekali lagi karena “situasi pasar” yang dilanda krisis identitas. Artinya seandainya mayoritas umat islam punya ketetapan hati dan ideologinya hanya menerima Islam, tentu partai Islam akan mengokohkan dirinya sebagai “penyambung lidah umat” seperti halnya Masyumi tahun 1945 yang hanya satu-satunya wadah perjuangan umat Islam. Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis. Kelonggaran afiliasi politik adalah ciri utama sikap politik yang oportunis sekaligus pragmatis. Sikap politik tidak dibentuk oleh kesamaan ideologi atau cara pandang tentang garis besar kebijakan yang harus dilaksanakan, akan tetapi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang barangkali akan sangat cepat usai. Banyak parpol yang berbasis Islam yang dengan tegas mengkampanyekan partai mereka sebagai partai terbuka, pluralis dan majemuk. PKS misalnya cukup berani melakukan manuver untuk membuktikan kepada public bahwa PKS bukan partai yang berbasis ideologi tertentu. Bagi PKS, bukan lagi saatnya menyebut partai tertentu sebagai partai Islam, Nasionalis dll. Namun yang terpenting adalah kinerja dari parpol itu. Sekilas gagasan dan pilihan ini cukup substansial untuk menutupi kelemahan politik gincu yang lebih mengedepankan symbol seperti yang disebut di atas. Namun strategi politik garam yang demikian itu tetap saja bagian dari de-ideologisasi parpol. Dampaknya de-ideologisasi parpol akan terus memicu inflasi parpol, sebab setiap saat semua orang dapat mendirikan parpol dengan tujuan menjaga dan meraih kepentingan politik sesaat, tanpa terbebani oleh tanggung jawab ideologi politik tertentu. Pada titik inilah, upaya de-ideologisasi parpol perlu ditinjau ulang? ? (sumber) Entah alpa atau lupa. Hatta, Cak Nur, Amien Rais dan lainnya hanya mengambil satu tinjauan politik garam hanya pada peribahasa “bagai sayur tanpa garam” sehingga dengan filsafat garam seolah masyarakat akan merasakan “gurihnya”. Tapi bagaimana jika “Membuang garam ke laut” sebuah peribahasa yang artinya melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya. Maka apalah artinya filsafat garam jika hanya “se sendok garam itu berbaur pada air laut syahwat politik” yang akhirnya “Kelihatan garam kelatnya”.

Monday 20 August 2007

Renungan


Nilai Diri yang Terbeli

Agung Sedayu*

Di tengah pesatnya pengaruh budaya luar yang masuk dalam suatu bangsa selalu muncul upaya-upaya mengangkat kembali ke permukaan tradisi lokal. Terutama jika ternyata arus baru tersebut membawa sekian banyak kepentingan dominasi bangsa lain. Karena nilai-nilai tradisi diyakini (atau lebih tepat diharapkan) mampu mengimbangi eksitensi budaya baru tersebut.

Hanya seringkali dalam proses awal peresapan budaya baru, local tradition sering kali disampingkan keberadaannya karena dianggap tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakatnya yang semakin berkembang. Kalaupun masih dilihat, itupun hanya pencomotan bagian-bagian tertentu yang dianggap menguntungkan bagi penanda indentitas yang muncul kemudian.

Arus Liberalisme baru

Kini penggalian dan penguatan local genous mencapai titik balik arti pentingnya, setelah secara blak-blakan negara-negara kapitalis maju membidani lahirnya Neo-Liberalisme, monster ideologi kapitalisme baru yang terbungkus manis dalam kredo Globalisasi. Sejak 1970-an hingga kini, aliran baru kapitalisme ini mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek penghisapan negara kecil oleh negara besar, parahnya kondisi ini ditopang oleh pilar-pilar badan keuangan dunia seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.

Di Indonesia sendiri paham liberalisme baru ini mulai terasa sejak era 80-an awal, saat pemeritah orde baru mulai menerapkan kebijaksanaan liberalisasi dibidang ekonomi dan keuangan. Saat Indonesia – yang telah terlanjur terbuai dalam candu kucuran hutang dari IGGI, IMF maupun Bank Dunia – dengan tunduk patuh menerima dan mengadopsi kebijakan tersebut. Walaupun jelas dalam jangka panjang beberapa kebijakan tersebut justru akan semakin menjerumuskan bangsa ini ke kemelaratan.

Beberapa kebijakan yang sangat menyolok adalah pada alocative efficiency, swatanisasi, liberalisasi impor, dan pembebasan total sekat arus investasi asing. Alocative efficiency atau kebijakan pengembalian mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang/jasa dan sebagai proses pengalokasian sumber ekonomi ketingkat yang optimal sangat beresiko dilakukan pada sebuah negara yang memiliki kesenjangan sosial tinggi seperti Indonesia. Karena dalam siruasi kepincangan yang menyolok dalam hal pendapatan maupun kekayaan, maka pasar akan cenderung melakukan pengakomodasian kebutuhan orang-orang kaya saja, karena keuntungan akan cenderung lebih besar. Akibatnya sumber ekonomi akan teralokasikan untuk memproduksi barang mewah, artinya pemproduksian barang-barang pokok harus dikorbankan. Begitu juga dengan swastanisasi seluas-luasnya bidang ekonomi akan membuka lebar-lebar pintu pemusatan distribusi kekayaan dan kekuasaan politik kekalangan tertentu yang punya duit besar saja.

Liberalisasi impor dan pembebasan total sekat arus investasi asing, selintas memang tampak menggiurkan. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh, kebijaksanaan ini merupakan sebuah awal pembunuhan potensi dan penghisapan besar-besaran. Kita semua tahu bahwa tidak semua negara memiliki tingkat kekuatan ekonomi maupun keuangan yang sama. Sehingga saat liberalisasi impor digulirkan maka negara-negara kuat, yang mampu memproduksi barang dalam sekala besar dan menimbulkan manfaat sekala ekonomi tinggi, akan menjadi penentu harga. Sedangkan negara-negara lemah, yang masih memproduksi dengan sekala kecil dan belum memiliki manfaat ekonomi tinggi, sebagai penerima kebijakan harga tersebut.

Contoh paling gampang dari penjelasan diatas adalah pada masuknya gula maupun daging impor dari negara maju secara besar-besaran ke Indonesia yang nota bene tidak memiliki kemampuan produksi yang mampu menyaingi. Maka dapat dipastikan produksi gula maupun daging domestik akan kalah bersaing dengan produk negara maju tersebut. Akibatnya kita terpaksa harus melihat sektor-sektor dalam negeri satu persatu gulungtikar.

Lebih jauh, Neo-Liberalisme ini tidak hanya menghisap dan melumpuhkan faktor-faktor ekonomi saja, akan tetapi juga telah masuk keranah budaya. Arus liberalisme baru dengan topeng globalisasi ini dengan tampa ampun telah menerjang Indonesia yang berlatar belakang agraris dan belum bisa dibilang kaya. Sembari menghisap dan intrefrensi mereka juga menjejalkan produk-produk teknologi mereka dengan sekian banyak tawaran memukau.

Grojokan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional telah merombak total wajah Indonesia. Hampir dalam segala sisi kehidupan bangsa terjadi pergeseran orentasi kearah kapitalis. Secara fisik memang pembangunan infrastruktur di Indonesia, terutama diwilayah jantung kekuasaan, mengalami sekian banyak kemajuan. Karakter bangsa yang dahulu agraris, tradisional menjadi begitu genit, gaul, funky, dan pragmatis habis. Akibatnya memang luar biasa, budaya konsumtif muncul dimana-mana. Penghargaan terhadap kekayaan dan nilai tradisi telah turun ketitik nadir dan tercerabut, digantikan dengan segala bentuk gemerlap produk baru yang dianggap lebih mempesona, bermanfaat, keren, dan yang pasti tidak dibilang kampungan. Karena satu alasan, ikuti gaya hidup sang patron, sang bangsa dari (mengutip bahasa Pramudya Ananta Noer) atas angin.

Kini bukan hanya limun maupun beras kencur produk lokal yang telah tergusur dan digantikan dengan Coca-Cola maupun Fanta. Akan tetapi juga kesenian-kesenian tradisional sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kampungan, digantikan dengan kebudayaan pop dengan segala keerotisan, keeksentrikan, dan hura-hura.

Pun di institusi yang bernama sekolah gelombang pergeseran nilai ini tidak juga terbendung. Saya teringat sebuah iklan di televisi yang menggambarkan bermimpi buruk seseorang yang dikejar-kejar dan akan dipukuli, lantas terbangun dengan sebuah teriakan histeris “…saya hanya ingin ijasah”. Kemudian datang seseorang yang berkata, “kalau ingin ijasah, ya sekolah”. Sedikit banyak iklan tersebut mampu menggambarkan kondisi dunia pendidikan kita, bahwa tujuan sebuah institusi yang bernama sekolah telah benar-benar berubah.

Jika dulu sekolah sebagai tempat mencari ilmu untuk menjadikan hidup seseorang lebih bermartabat karena memiliki pengetahuan yang bermanfaat dan dibuktikan dalam praktek nyata. Bukan dengan selembar kertas yang bernama ijasah. Kini seorang anak akan berangkat kesekolah dengan satu harapan dapat ijasah, dapat kerja, dan jadi orang kaya. Karena ukuran orang berilmu adalah ijasah dan ukuran martabat adalah harta kekayaan. Disini tata nilai tradisi telah mengalami titik pembusukan digantikan oleh segala orentasi materi duniawi.

Hargai Diri Sendiri

Tampaknya kita harus kembali melihat diri sendiri untuk bisa lebih menghargai dan menggali potensi diri. Selayaknya sebuah bangsa, kita juga mempunyai sebuah potensi besar bukan hanya apa yang ada dan terpendam dalam bumi nusantara. Akan tetapi lebih dari itu kita memiliki tradisi yang merupakan tata nilai yang berasal dari formulasi adaptasi dan penyelarasan terhadap segala kondisi lokal genius yang pernah dihadapi. Disana ada sekian banyak kearifan-kearifan tradisi lokal yang bisa digali, dipelajari dan diadaptasikan kembali.

Memang tidak mudah memunculkan kembali karakter local genous ini. Tapi pemunculan ini bukan hal yang mustahil jika penjagaan lokal genous dapat dilakukan diantara gesekan dinamika dan proses interaksi masyarakatnya. Hal ini penting karena dinamika kebutuhan masyarakat, pandangan masyarakat terhadap sistem sosial dan alam akan banyak mempengaruhi pandangan masyarakatnya terhadap arti penting sebuah tata nilai.

Jelas penyingkapan masalah ini tidak bisa hanya dilakukan secara parsial. Seluruh elemen bangsa ini harus mulai sadar dan berani untuk mengawali perlawanan dan kepercayaan pada diri sendiri. Bahwa kita bukanlah sebuah bangsa penyakitan dan idiot yang selalu akan tergantung pada bangsa lain. Bahwa kita bukanlah bangsa yang memiliki nilai budaya dan tradisi yang lebih rendah dari pada bangsa lain. Bahwa kita boleh miskin, akan tetapi tidak akan pernah memberikan hidung untuk dicocok dan disetir seperti sapi penarik pedati. Akhirnya, mari bersama kita mulai menghargai diri sendiri. Wassalam.

dini hari di awal Agustus 2004

· Sekjend PPMI 2004-2005